Menampilkan postingan dari 2011

Joko Prastowo dan Penelitian Penyakit Berak Darah pada Ayam


Melihat ayam-ayamnya tampak lesu, tidak mau makan, dan diare berdarah, tentu sang pemilik akan lesu juga. Dengan gejala-gejala tersebut, maka ayam dapat didiagnosa terjangkit penyakit koksidiosis atau lebih populer dengan sebutan “berak darah”. Berdasarkan laporan penelitian, penyakit itu ditemukan pada setiap periode pemeliharaan ayam di Indonesia.
Adalah Joko Prastowo, seorang dosen UGM yang bertugas di lab parasitologi, secara intensif telah meneliti tentang penyakit koksidiosis. “Salah satu keahlian saya di bidang protozoologi. Protozoa-protozoa yang dikembangkan dalam penelitian saya itu hubungannya dengan protozoa yang banyak menyerang pada hewan unggas. Yaitu terutama pada koksidia,” tutur Joko.
Koksidiosis menyerang saluran pencernaan dan mengakibatkan diare berdarah, penurunan berat badan, paralisis, terlambatnya produksi telur, kualitas telur menurun dan bahkan kematian. Penyebab penyakit ini adalah protozoa dari genus eimeria. Eimeria sendiri terbagi menjadi empat tipe, yaitu: eimeria tenella, eimeria necatrix, eimeria acervulina, dan eimeria maxima.
Di Amerika Serikat koksidiosis menimbulkan kerugian sebesar U$ 34.854.000 per tahun (levine, 1995). Sementara menurut Gordon (1997) kematian ternak ayam pada suatu peternakan akibat koksidiosis dapat mencapai 5-10% dan kerugian di seluruh dunia mencapai 50-100 juta poundsterling. Koksidiosis pada ayam muda dapat menimbulkan kematian sampai 100%, hal ini disebabkan apabila terjadi infeksi berat ditandai dengan hilangnya darah yang cukup banyak.
Siklus hidup dari eimeria secara langsung yaitu tanpa melalui hewan lain untuk menularkan penyakit koksidiosis. Ookista yang bersporulasi, merupakan stadium infektif dari siklus hidup penyakit tersebut. Ookista dapat juga ditularkan secara mekanik melalui pekerja kandang, peralatan yang tercemar atau dalam beberapa kasus yang pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang dan litter/sekam dalam jangkauan pendek.
Berat tidaknya penyakit koksidiosis tergantung dari jumlah protozoa yang termakan. Berdasarkan tingkat keparahannya penyakit koksidiosis dibagi menjadi 2 yaitu: koksidiosis klinis (Eimeria tenella dan Eimeria necatrix) dan koksidiosis subklinis (Eimeria maxima dan Eimeria acervulina).
Untuk mengendalikan dan mencegah koksidiosis, para peternak biasanya memberikan obat-obatan (koksidiostat) pada pakan dan minuman ternak. Tetapi efek negatif dari obat ini menyebabkan resistensi pada parasit, yang membuat sulitnya dan pemborosan uang untuk penemuan obat yang baru.
Selain itu, koksidiostat sendiri harganya sangat mahal. “Memelihara ayam itu sangat mahal untuk mencegah kejadian koksidia,” ungkap Joko.
Joko yang ingin meringankan beban yang dipikul oleh para peternak baik petelur maupun pedaging, mencoba solusi lain dalam pencegahan koksidiosis. “Nah, ini kalau saya bisa menemukan sesuatu, tanpa adanya koksidiotat itu, kan, itu saya bisa membantu peternak sangat luar biasa.” Ujar Joko.
Dengan penelitiannya, ia mencoba mendapatkan sebuah sampel vaksin yang dapat mencegah terjadinya koksidiosis. Dan kandidat vaksin yang potensial adalah sporozoit eimeria tenella.
Selama dua tahun di Jerman, Joko juga telah mempelajari tentang penyakit koksidiosis, yaitu mengenai cara pencegahannya dan cara pengobatannya. “Pencegahannya salah satunya dengan imunisasi. Nah, saya menggeluti bidang ini.” katanya.
Penelitian Joko pun akhirnya berhasil menemukan salah satu bahan untuk bisa memberikan kekebalan ayam terhadap penyakit koksidiosis. Dengan begitu ia berharap hasil penelitiannya itu bisa dipergunakan oleh para peternak. Dan masyarakat dapat lebih hemat biaya dalam mencegah koksidiosis sehingga keuntungan yang didapat pun akan lebih besar.
Lelaki yang lahir di Ngajuk enam bulan sebelum meletusnya peristiwa G 30 S PKI itu menuturkan bahwa dia mulai melakukan penelitiannya tentang koksidiosis sejak tahun 1992. Untuk tema penelitian pada S2 dan S3-nya pun, ia juga mengambil tentang protozoa koksidiosis pada ayam itu.
Joko sudah bertekad untuk melanjutkan penelitiannya. “Yang namanya penelitian yang baik kan harus berlanjut,” ucap Joko.
Saat ditanya, apakah hasil penelitiannya sudah dipatenkan? Ia menjawab, “Hak patennya belum, ya itu mesti ada satu step lagi penelitian yang hubungannya dengan membuat produk.” 
Untuk melanjutkan keinginannya itu tentunya Joko terus berusaha mendapatkan dana untuk membiayai penelitiannya. “Kami selalu mengusulkan pendanaan-pendanaan, namun demikian untuk menjadi step ke industri itu membutuhkan biaya yang tinggi.” Ungkap Joko.
Mengenai perhatian pemerintah kepada para peneliti, menurut Joko pemerintah telah memberikan alokasi berupa hibah-hibah penelitian meskipun terbatas. Dan karena ketidak seimbangan antara dana dengan jumlah peneliti, maka para peneliti harus bersaing dengan menunjukkan kualitas yang lebih.
 Joko juga ingin bekerjasama baik dengan pemerintah maupun dengan pihak industri untuk mengembangkan hasil penelitiannya. “Harapan kami, kami bisa kolaborasi paling tidak ya dengan industri. Pemerintah-industri.” Kata dia.
Jika dilihat dari manfaatnya yang begitu besar, maka hasil penelitian Joko ini patut dikembangkan. Tapi karena kurangnya sosialisasi dan publikasi, maka penelitian Joko menjadi tidak dikenal oleh masyarakat luas bahkan oleh para peternak ayam yang menjadi sararan utamanya.
Joko sendiri mengakui, komunikasi itu memang harus yang utama, salah satunya dengan media massa. Ia berharap, mudah-mudahan dengan dimuat di media ini (Jurnal Nasional) ada orang yang membaca. Kemudian orang itu mau menghubunginya dan tertarik untuk mengembangkan hasil penelitiannya.
Terakhir Joko kembali mengungkapkan harapannya. “Bagi kami sudah begitu jelasnya,” Joko menegaskan, “Kami Sudah mempunyai bentuk produknya berupa vaksin, namun demikian belum diindustrialisasikan, jadi hasil industrinya itu belum ada. Nah ini kalau ada pembiayaan, siapa saja, kami selalu membuka diri kepada siapapun.” (Yunisa, wawancara Joko Prastowo, Thursday, January 01, 2009, 3:00:00 PM)
-->