Wahyu Santosa, si Pelukis Jelmaan Pendekar
![]() |
Wahyu Santosa |
Wahyu Santosa, Pria kelahiran Ngawi,
Jawa Timur, 18 September 1972 ini, sejak kecil memang terobsesi menjadi
pendekar pencak silat. Ia pun telah berguru di perguruan-perguruan persilatan
hingga menginjak SMA.
Begitu lulus SMA, ia sadar bahwa ia
tidak bisa memuaskan jiwa petualangan macam itu terus-terusan. Ia pun mulai
berpikir untuk bisa membantu perekonomian orang tua serta adik-adiknya. Dan sebagai
langkah awal, ia hijrah ke Yogyakarta dan masuk ke Institut Seni Indonesia
(ISI), jurusan seni patung.
Tahun 1995 sampai 2000, Wahyu bergabung
dengan studio patung Satiaji Yogyakarta. Kemudian selepas dari Satiaji ia mulai serius berkarya dan mengadakan
pameran. Adapun pameran yang pernah dilakukan antara lain: Pameran “Vitalitas dan Tradisi”, Galeri Mirota Batik,
Yogyakarta (2001), Pameran “Vitalitas dan Tradisi”, Griya Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta (2001), dan Pameran “Reogan”, Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta
(2005).
Bagi Wahyu, berkarya merupakan salah
satu caranya untuk mengemukakan apa yang ia pikir dan rasakan terhadap apa yang
merisaukan hatinya. Dan yang menghilhami penciptakan karya-karya seni patung adalah
ketertarikan dan kecintaanya akan budaya bangsa. Tema-tema tradisi menjadi
spirit yang kuat pada karya-karyanya.
Patung-patung Wahyu Santosa yang
bercorak realis, menghadirkan sosok orang-orang biasa, orang-orang desa yang
bersahaja. Sosok-sosok yang selama ini terpinggirkan hidupnya, baik dalam
konteks ekonomi maupun kehidupan yang makin modern. Mereka antara lain; petani,
dukun bayi, para seniman tradisional, tukang obor kodok, serta penggali dan
penjaga kuburan.
Meskipun tentang orang-orang biasa,
wahyu tetap merenungkannya secara mendalam. Bagi Wahyu, orang-orang biasa itu
lebih menarik. Objek seni artistik dengan roman muka polos, lugu, penuh guratan
kehidupan yang tidak dibuat-buat. Pikiran, perasaan dan lamunan mereka menjadi
insipirasi mendasar yang mengusiknya untuk berkarya secara total.
Tentang orang-orang biasa sendiri,
Wahyu telah mempunyai pengalaman yang cukup padanya. Ia telah merasakan hidup
bersama mereka karena ia sendiri berasal dari sana. Banyak bergaul dengan
orang-orang biasa yang ternyata bermacam-macam wataknya, telah mematangkan
kesejatian dirinya. Hingga dalam berkarya pun, ia banyak dipengaruhi olehnya.
Kemudian dalam mempersiapkan karya
patungnya, Wahyu mempunyai cara yang berbeda dengan para pematung lainnya. Ia
tidak menggunakan coretan pensil di atas kertas, melainkan menggunakan kawat
sebagai sketsa perencanaan karya.
Kawat selain sebagai sketsa juga
sebagai cara yang memudahkan dirinya mendapatkan gambaran awal rancangan bentuk
(study anatomi), sikap tubuh dan gerakan-gerakan dinamis (gesture). Sekaligus
menjadi alat peraga dalam mengeksplorasi ide-idenya.
Menurut Wahyu sketsa pakai kawat lebih
praktis. Mudah dikoreksi kalau ada kekurangan-kekurangan. Selain itu sketsa
kawat bersifat tiga dimensi. Ini lebih memudahkannya untuk mewujudkan bentuk
patung yang diinginkannya. Dan selain itu, kawat tersebut masih bisa terpakai
lagi untuk membuat sketsa patung lainnya.
Hampir sebagian besar karya patung-patungya
bermula dari ide yang ia ekspor lewat seutas kawat sebagai sketsa awal. Ia menggunakan
sketsa kawat sejak tahun 1999. Tepatnya ketika ia memulai mengerjakan Tugas
Akhir. Waktu itu ia membuat serangkaian karya patung perunggu dengan tema
“Reogan”
Pernah suatu hari ketika Wahyu sedang
membuat sketsa untuk mempersiapkan karya patung perunggunya yang terbaru dengan
tema “Jurus-Jurus Silat”, salah seorang peminat karya Patung dari Singapura merasa
kagum dengan keunikan media sketsa Wahyu.
Wahyu pun mendapat tawaran untuk
membuat patung berukuran besar dengan media mirip dengan sketsa kawatnya. Jadi
utuh seperti kawat yang dipilin-pilin dalam sketsanya yang masih bersifat
abstraksi itu. Namun Wahyu tak tergoda untuk ke situ. Pencapaian akhir dari
proses pembuatan karya patungnya adalah terbentuknya patung realis yang terasa
komunikatif.
Itulah Wahyu Santosa, menyadari bahwa
dirinya bermula dari orang-orang biasa, maka dalam berkarya ia tetap memegang
nilai-nilai kesederhanaan alam desa. Ia mengangkat orang-orang biasa dalam
karyanya. Dan orang-orang biasa tersebutlah yang menjadi ciri khasnya. (yunisa)
Sumber:
http://studiokandangkebo.com
http://gudeg.net
Diskusi