Arman Wijonarko dan Penelitian Penyakit Kuning Cabai
Ternyata bukan hanya manusia, tanaman cabai
pun ada jang terserang penyakit kuning. Tentu jenisnya berbeda, termasuk
penyebabnya. ”Penyakit kuning itu ditularkan oleh vektor (serangga),”
Ungkap Dr. Ir. Arman Wijonarko,
M.Sc., seorang peneliti sekaligus dosen di Fakultas Pertanian UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta. “Vektornya
itu bernama kutu kebul (Bemisia tabaci),” lanjutnya.
Arman Wijonarko |
Gejala
akibat serangan penyakit kuning muncul sejak tanaman cabai masih berupa bibit hingga tanaman
tua yang sudah berproduksi. “Ciri-cirinya
daun kuning, terus mengkeriting," tutur laki-laki kelahiran Magelang, 16 Maret 1967 itu.
Belum banyak kajian mengenai aspek dasar dari Bemisia
tabaci (B. tabaci) di Indonesia dalam kaitannya dengan penyakit kuning. Dengan
penelitiannya yang berjudul “Epidemi Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai, Inang
Alternatif, dan Penyebaran Vektornya”, Arman berharap akan memperoleh informasi
dasar tentang tanaman-virus penyakit kuning-vektor penularnya beserta
interaksinya di ekosistem pertanian.
Penelitian itu memang menyangkut masalah vektor dan penyakitnya, tapi Arman sendiri
lebih banyak meneliti vektornya. Ia melakukan penelitian tentang vektor itu
sejak tahun 2003. “Penelitiannya sejak awal muncul penyakit kuning,” Ungkapnya.
Dilaporkan bahwa B. tabaci mempunyai inang lebih dari 500 jenis tanaman
dan sebagian besar merupakan tanaman penting hortikultura dan tanaman hias,
atau tanaman di dalam rumah kaca. Dan, inang
itu dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) inang untuk makan (feeding
host), dan (2) inang reproduksi (reproductive host).
B. tabaci dikenal sebagai serangga yang mempunyai kisaran penyebaran geografis cukup
luas, mulai dari daerah subtropis hingga daerah tropis. Serangga tersebut dapat
menularkan sekitar 110 jenis virus yang menyebabkan penyakit tanaman. Untuk
penyakit kuning sendiri disebabkan oleh virus dari kelompok geminivirus.
Awalnya, Arman melakukan
survei di beberapa sentra tanaman cabai yang meliputi tiga level ketinggian,
yaitu mulai dari ketinggian kurang dari 200 meter di atas permukaan laut,
200-600, dan 600 lebih. Adapun wilayah yang menjadi tempat penelitiannya
adalah Magelang (3 lokasi), Temanggung (3 lokasi), Pekalongan (1 lokasi),
Brebes (2 lokasi), Tegal (2 lokasi), Purbalingga (1 lokasi), Karanganyar (3 lokasi),
Sleman (2 lokasi), Bantul (2 lokasi), dan Kulonprogo (1 lokasi).
Survei yang mencakup
pengamatan terhadap intensitas serangan penyakit kuning, vektor, dan kondisi
agroekosistem itu menunjukkan adanya tempat yang merupakan daerah endemis
serangan penyakit kuning. Di dataran tinggi, seperti daerah Pakem dan Temanggung,
walaupun populasi serangga vektornya sedikit, namun intensitas kerusakan yang
ditimbulkannya mencapai >80%. Sebaliknya,di dataran rendah seperti daerah
Bantul dan Kulonprogo yang populasi vektor sangat banyak, tingkat serangan
penyakit kuning pada pertanaman cabai malah
tidak begitu tinggi.
Pengamatan pada pertanaman
cabai di dataran rendah menunjukkan bahwa populasi vektor pada tanaman cabainya
sangat sedikit. Vektor malah banyak ditemukan pada tanaman lain seperti terong,
tomat, semangka, ubi jalar, mentimun dan gulma. Begitu juga dengan virusnya,
juga lebih banyak di tanaman selain cabai.
Untuk pengamatan vektor,
Arman menjelaskan bahwa di Jogja pun biotipe vektornya bermacam-macam. Kemudian pengamatan
itu juga menemukan beberapa musuh alami jenis serangga seperti Coccinellidae, Miridae,
dan laba-laba yang potensial untuk diuji kemampuannya dalam menekan populasi
vektor.
Arman juga menemukan bahwa
adanya lahan dengan sanitasi yang baik khususnya bermula dan gulmanya minimum, umumnya tingkat serangan penyakit
kuning tidak setinggi pada kebun yang tidak begitu dirawat. Dan adanya tanaman lain
yang bertindak sebagai ”barrier” bagi
masuknya vektor ke pertanaman cabai, bisa menekan serangan penyakit kuning maupun
populasi vektornya. Salah satu tanaman yang dapat
berfungsi sebagai barrier adalah tanaman jagung. “Kalau tanaman cabe itu
dikelilingi oleh tanaman jagung, itu lebih aman,” katanya.
Kemudian pada daerah yang pola tanamnya
berganti dengan komoditas yang bukan merupakan inang B. tabaci, tingkat
serangan penyakit kuningnya relatif lebih rendah. Misalnya di daerah Bantul,
meskipun populasi vektornya cukup tinggi, bahkan di bulan Agustus – September boleh
dikatakan terjadi eksplosi B. tabaci pada tanaman terong, tetapi
intensitas serangan tidak setinggi di daerah Pakem. Itu karena di daerah Bantul
terjadi rotasi tanam, sedang di daerah Pakem terus-menerus ditanami cabai.
Intensitas
serangan penyakit kuning pada cabai rawit mencapai 50-100%, sedangkan pada
cabai besar berkisar antara 20-100%. Belum
diketahui apakah ada varitas tanaman cabai yang toleran. Sementara menurut
Arman, varietas cabai yang banyak diserang adalah TM 99, yang merupakan favorit
petani Pakem, Magelang, Muntilan, dan Temanggung.
Mengenai pengendalian
penyakit kuning di tingkat petani, mereka lebih banyak mengandalkan pada pestisida kimia yang sesungguhnya
merupakan bahan beracun, dan belum tentu
efektif untuk mengendalikan penyakit maupun vektornya. B. tabaci
menjadi masalah yang
cukup sulit diatasi karena kemampuannya untuk resisten terhadap pestisida yang
masih relatif baru, seperti imidakloprid dari golongan neonikotinoid.
Kepada para petani cabai Indonesia, Arman
menyarankan,agar penyakit kuning bisa diminimalisir, maka perlu melakukan: (1) rotasi tanam dengan menanam
jenis tanaman lain untuk memutus rantai vektor; (2) pembibitan yang
bebas penyakit; (3) pembersihan lahan dari tanaman liar atau gulma.
Pada
dasasarnya, Arman hanya memberikan cara-cara pencegahannya saja. Kata Arman, “Virus
itu kalau sudah masuk nggak ada obatnya. Paling hanya dipupuk supaya agak kuat.” (Sumber: Wawancara
Arman Wijonarko, Thursday, January 01, 2009, 3:00:00 PM, by yunisa)
Gan, aye comot artikelnya mentah2 di blog http://parapenemuindonesia.blogspot.com. trims, aye kasih links.
BalasHapus