Perang Dunia Kedua Melanda Kepulauan Kei (War Came To The Kei Islands)
Judul: Perang Dunia Kedua Melanda Kepulauan Kei
(War Came To The Kei Islands)
Penulis: Charles C. Bedaux, Ph.D., D.D., MSC; terj. Ignasius S.S. Refo
Penerbit: Penebar Media Pustaka
ISBN: 978-623-7612-15-5
Kertas: HVS 70 gram
Ukuran: 17x25cm
Jumlah hal: BW 80 Halaman
Finishing: Soft Cover, Perfect Binding
(War Came To The Kei Islands)
Penulis: Charles C. Bedaux, Ph.D., D.D., MSC; terj. Ignasius S.S. Refo
Penerbit: Penebar Media Pustaka
ISBN: 978-623-7612-15-5
Kertas: HVS 70 gram
Ukuran: 17x25cm
Jumlah hal: BW 80 Halaman
Finishing: Soft Cover, Perfect Binding
Di awal tahun 1940, Uskup saya, Mgr. Johannes Aerts MSC, Vikaris Apostolik New Guinea Belanda (Vikaris Apostolik Papua Belanda), memberitahukan bahwa kini tiba digiliranku untuk berlibur ke Belanda untuk cuti pertamaku. Sejak Mei 1930, saya telah ditugaskan sebagai misionaris di Maluku. Begitu tiba di Langgur, pulau Kei Kecil, di Pusat Misi, saya menggantikan Pastor Yakobus Grent MSC sebagai pengawas sekolah-sekolah dan Direktur Sekolah Pendidikan Guru-Katekis, sekaligus kepala Asrama Putra yang menjadi bagian langsung sekolah tersebut. Ditambah dengan tugas akhir-pekan di beberapa desa dan berbagai tanggung-jawab lainnya, karyaku sungguh melampaui kemampuanku. Kendati demikian saya menyukainya. Di sana, guru-guru Katolik sungguh menjadi bagian hakiki dari karya misi kita, dan masa depan karya misi sangat bergantung pada pendidikan yang baik bagi anak-anak muda yang berasal dari kepulauan Kei dan Tanimbar ini.
Di akhir tahun 1939, seorang misionaris muda yang dulu muridku di negeri Belanda ketika saya mengajar di Seminari Menengah di sana, tiba di tanah Misi. Dan ia diminta menyiapkan diri untuk mengambil-alih tugas-tugasku. Ketika itu saya tengah bersiap-siap berangkat ke negeri Belanda bersama seorang bruder, sambil menunggu kembalinya dua orang misionaris yang diharapkan tiba pada bulan Juni atau Juli 1940. Sesudahnya, kami siap berangkat.
Namun di bulan Mei 1940 Jerman menginvasi Belanda dan sesudah beberapa hari Belanda menyerah. Kedua misionaris, yang ditunggu, tidak dapat keluar dari negeri Belanda. Mereka ditinggalkan kapal yang berangkat sehari lebih awal, karena invasi Jerman tersebut. Karena itu liburanku ditunda sampai perang berakhir. Dua pastor Jerman yang berada di misi ditawan di Kamp Tahanan di Pulau Jawa. Namun sesudah dua bulan mereka kembali, karena pejabat tertinggi Belanda (Pemerintahan Hindia Belanda) di Maluku Selatan menjamin bahwa mereka dapat dipercaya. Meskipun demikian, hanya sedikit saja misionaris dan warga Jerman yang dilepas dari tawanan. Pada waktu yang sama pastor di Langgur, stasi utama misi, secara mendadak meninggal dan karena pejabat Belanda menginginkan, agar orang-orang Jerman yang bebas ditugaskan di tempat-tempat yang dekat dengan kantor pemerintahan setempat, maka Pastor Mṻnster MSC diangkat menjadi pastor di Langgur. Hal ini mengakibatkan, Paroki Namar yang sebelumnya dilayani Pastor Munster MSC tak lagi mempunyai seorang pastor paroki. Mengingat tak mungkin lagi saya berangkat ke Belanda, maka saya diangkat untuk sementara waktu menjadi pastor Namar, yakni sebuah desa di pantai barat Pulau Kei Kecil, sekitar tujuh mil dari Langgur ke arah pantai timur. Pastor Jacques Ligtvoet mengambil-alih tugasku di Langgur. Sebagai pastor Namar, yang secara historis merupakan stasi kedua misi vikariat sesudah Langgur, saya bertugas melayani desa-desa: Namar, Lairngangas, Debut, Lilboy, Letfuan, Evu, Watngil, Ngilngof dan Ohoililir; seluruhnya terdapat sekitar 4.000 umat Katolik dan 200 orang tak beragama (kepercayaan tradisional). (Penulis)
Di akhir tahun 1939, seorang misionaris muda yang dulu muridku di negeri Belanda ketika saya mengajar di Seminari Menengah di sana, tiba di tanah Misi. Dan ia diminta menyiapkan diri untuk mengambil-alih tugas-tugasku. Ketika itu saya tengah bersiap-siap berangkat ke negeri Belanda bersama seorang bruder, sambil menunggu kembalinya dua orang misionaris yang diharapkan tiba pada bulan Juni atau Juli 1940. Sesudahnya, kami siap berangkat.
Namun di bulan Mei 1940 Jerman menginvasi Belanda dan sesudah beberapa hari Belanda menyerah. Kedua misionaris, yang ditunggu, tidak dapat keluar dari negeri Belanda. Mereka ditinggalkan kapal yang berangkat sehari lebih awal, karena invasi Jerman tersebut. Karena itu liburanku ditunda sampai perang berakhir. Dua pastor Jerman yang berada di misi ditawan di Kamp Tahanan di Pulau Jawa. Namun sesudah dua bulan mereka kembali, karena pejabat tertinggi Belanda (Pemerintahan Hindia Belanda) di Maluku Selatan menjamin bahwa mereka dapat dipercaya. Meskipun demikian, hanya sedikit saja misionaris dan warga Jerman yang dilepas dari tawanan. Pada waktu yang sama pastor di Langgur, stasi utama misi, secara mendadak meninggal dan karena pejabat Belanda menginginkan, agar orang-orang Jerman yang bebas ditugaskan di tempat-tempat yang dekat dengan kantor pemerintahan setempat, maka Pastor Mṻnster MSC diangkat menjadi pastor di Langgur. Hal ini mengakibatkan, Paroki Namar yang sebelumnya dilayani Pastor Munster MSC tak lagi mempunyai seorang pastor paroki. Mengingat tak mungkin lagi saya berangkat ke Belanda, maka saya diangkat untuk sementara waktu menjadi pastor Namar, yakni sebuah desa di pantai barat Pulau Kei Kecil, sekitar tujuh mil dari Langgur ke arah pantai timur. Pastor Jacques Ligtvoet mengambil-alih tugasku di Langgur. Sebagai pastor Namar, yang secara historis merupakan stasi kedua misi vikariat sesudah Langgur, saya bertugas melayani desa-desa: Namar, Lairngangas, Debut, Lilboy, Letfuan, Evu, Watngil, Ngilngof dan Ohoililir; seluruhnya terdapat sekitar 4.000 umat Katolik dan 200 orang tak beragama (kepercayaan tradisional). (Penulis)
Diskusi