Jakarta dan Tuhan yang Maha Baik
By: Herman Hasyim
Ini hari pertama Pemprov DKI Jakarta menerapkan larangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Tapi aku tak peduli. Aku tetap melintasi Jalan Thamrin, meski dengan kecepatan di bawah rata-rata. Tak seorang pun polisi di sana yang berani menyemprit, apalagi memberhentikan dan memintaku menunjukkan SIM dan STNK. Para tentara juga bengong saja. Aku terus melaju dengan santai dan baru berhenti ketika di depanku ada tulisan berbunyi: Pejalan Kaki Lewat Sini.
![]() |
Sumber: Facebook Herman Hasyim |
Ini hari pertama Pemprov DKI Jakarta menerapkan larangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Tapi aku tak peduli. Aku tetap melintasi Jalan Thamrin, meski dengan kecepatan di bawah rata-rata. Tak seorang pun polisi di sana yang berani menyemprit, apalagi memberhentikan dan memintaku menunjukkan SIM dan STNK. Para tentara juga bengong saja. Aku terus melaju dengan santai dan baru berhenti ketika di depanku ada tulisan berbunyi: Pejalan Kaki Lewat Sini.
Sebagai pejalan
kaki yang baik dan benar, dan insya Allah diridhai Allah SWT, aku mentaati
instruksi tertulis di depan Plaza Sarinah itu. Jika tidak, kepala ini bisa
bocor dikepruk portal.
Sore ini aku
terpaksa melintasi MH Thamrin. Tadi ada pertemuan di sebuah hotel di Jalan
Wahid Hasyim. Usai pertemuan, muncul pesan pendek, "Kecoak 5, kami tunggu
di Warung Buncit jam 7."
Aku pun membalas,
"Siap, Kodok 1."
TKP yang aku tuju
tak jauh dari Ragunan. Bermacam-macam binatang nongkrong di situ. Sebagai zoon
politikon, aku adalah salah satu binatang yang memakai celana dalam.
Kuputuskan untuk
naik bus Transjakarta. Skenarioku: Aku naik dari shelter Sarinah ke arah Dukuh
Atas, lalu naik bus sejenis ke arah Ragunan. Aku tahu, pasti penumpang akan
berjubel. Bau parfum akan adu kuat dengan bau kentut. Tapi itu pilihan paling
logis dan paling ekonomis. Kalau naik taksi, duit yang kukeluarkan bisa 20 kali
lipat. Waktunya juga empat kali lebih lama. Naik mobil di jalan Rasuna Said
pada jam pulang kerja sama halnya dengan naik bekicot.
Alhamdulillah,
Tuhan maha baik. Skenario yang kurancang dengan apik itu gagal.
Petugas bagian
loket di shelter itu, dengan tampang seperti belum mandi 3 hari, menyetopku.
"Ada kartu,
Pak?"
"Kartu
apa?"
"Kartu untuk
busway," ujarnya, sambil memperlihatkan kartu yang masih asing buatku itu.
Ada logo BCA di situ. Kalai logo GT Man ada di dalam sini.
"Lho, memang
nggak bisa langsung beli tiket 3500?"
"Nggak
bisa."
Ingin rasanya aku
tampar petugas ini dengan segepok uang Zimbabwe. Tapi jangankan ke Zimbabwe,
mampir ke hatimu aja aku belum pernah. Ehemm...
Kamu tahu berapa
harga kartu itu? 40.000 Rupiah. Kamu tahu berapa duit yang mendekam di sakuku?
15.000 Rupiah. Dan kamu tahu apa yang harus aku lakukan? Ya, benar. Aku harus
nyopet.
Sayangnya aku tak
punya nyali untuk mencopet dompet orang. Apalagi kalau dompet itu bersemayam di
bokong cowok tegap, berotot, wangi dan melambai. Hiiii..
Balik badan, aku
keluar dari shelter sialan itu. Yang kutuju Plaza Sarinah. Untuk apa lagi kalau
bukan untuk ke ATM. Dengan gagah berani, aku copet uangku sendiri.
Si Mbak petugas
loket masih belum mandi ketika aku menemuinya lagi dan membeli kartu yang diisi
'pulsa' Rp 20.000 itu. Kupikir, selain bisa untuk naik bus Transjakarta, kartu
ini juga bisa dipakai untuk menelpon arwah Si Pitung.
Sempat menunggu 5
menit, aku batal naik bus Transjakarta. Setelah kurenung-renungkan sambil
ngupil, kuputuskan untuk naik Kopaja S 602 tujuan Monas-Ragunan. Itu bus mini
yang menghalalkan penumpangnya memakai rok mini. Naudzubillah... Aku
betul-betul berusaha agar tidak tergoda, karena rok mini itu dipakai cewek yang
65 tahun umurnya.
Bus ini meluncur
dengan rute Thamrin-Sudirman-Semanggi-Mampang-Warung Buncit. Sempat
tersendat-sendat, dalam waktu 1 jam 22 menit, akhirnya bus ini tiba di shelter
Jati Padang. Di sinilah aku melompat keluar, dengan muka hepi seperti baru saja
menang togel.
Dari situ aku
berjalan kaki lagi sambil menyedot Djarum Super. Itu memang buruk, tapi lebih
buruk lagi jika aku menyedot bibir sopir bajaj.
Lima menit
kemudian aku tiba di TKP. Alhamdulillah, sekali lagi, Tuhan maha baik.
Perjuanganku menaklukkan macetnya Jakarta tidak sia-sia. Sampai di sana, acara
sudah wassalam.
Aku berlindung
kepada mobil-mobil yang terparkir, ketika bos keluar dari tempat acara.
Kurentangkan payung imajiner di atas kepalaku, untuk mengantisipasi ada hujan
amarah.
Syukurlah, hujan
itu tidak turun. Muka melasku telah menjelma jadi pawang.
"Kok baru
datang? Acara sudah selesai!"
Hujan memang tidak
ada, tapi geledek menyambar jidatku. Modar!
Oh, ternyata Tuhan
sungguh maha baik. Aku masih diberinya kesempatan untuk hidup. Dan orang hidup
perlu makan, minum, dan--jika terpaksa--berjalan kaki sambil pipis di celana.
Maaf kalau tulisan
ini rada pesing.
Jakarta, 17 Desember
2014
(Penulis: Herman Hasyim, FB: https://www.facebook.com/herman.hasyim.7)
Diskusi