Daftar Komunitas Seni Lukis Yogyakarta, Indonesia
Patehan Wetan No. 3
Kraton
Komunitas Gelaran terbentuk dari ruang Gelaran Budaya yang
didirikan di penghujung tahun 1999 dengan sebuah seremoni sederhana. Penggagas
dan pendiri komunitas ini ialah Alpha Tejo Purnomo, Alit Sembodo, Didik
Nurhadi, Dipo Andy, Galam Zulkifli, Nugro Wantoro, Rain Rosidi, Taufik Rahzen,
dan Yayat Surya. Gelaran Budaya berdiri sebagai sebuah komunitas terbuka yang
menghormati perbedaan dan mencita-citakan rekonsiliasi kebudayaan.(penebar.com)
Berawal
dari pencarian ruang, komunitas Gelaran Budaya lantas mematangkan konsep mereka
dengan jargon “Ruang Publik Waktu Budaya”. Komunitas Gelaran mulanya menyewa tempat di sekitar Patehan Wetan, Kraton, sebagai ruang. Kemudian menyewa ruang lagi di Jalan Menukan 273, Karangkajen hingga 2004.
Nama “Gelaran” diartikan
sebagai “ruang untuk menggelar peristiwa” dan sekaligus sebagai “peristiwa
untuk memberikan gelar”. Pelbagai kegiatan seni tumbuh dan berkembang dalam
komunitas ini. Kegiatan tersebut antara lain pameran seni rupa, pementasan
teater, serta kegiatan-kegiatan yang bersifat perayaan keragaman ekspresi seni.
Saat kegiatan berkesenian
Gelaran Budaya sebagai sebuah ruang surut di penghujung 2004, anggota Gelaran Budaya di tahun-tahun setelahnya
berkiprah dalam “Waktu Budaya” atau jaringan.
Di
masa vakum itu sayap perbukuan Gelaran Budaya masih intensif menerbitkan
buku-buku sejarah, pers, kronik dan mendirikan pelbagai Taman Bacaan di
perkampungan pelosok Jawa dengan bendera program “Gelaran Ibuku”. Tahun 2009
atau 10 tahun aktivitasnya, Gelaran Budaya Komunitas merayakan ulangtahunnya
dengan meriset dan menerbitkan buku Gelaran
Almanak Senirupa Jogja 1999-2009 yang diterbitkan atas kerjasama Gelaran
Budaya dan Indonesia Buku.
IKATAN
KELUARGA ISTRI SENI RUPAWAN
YOGYAKARTA (IKAISYO)
Jl Gajah Tahunan UH III/ 93 | 0274
380055
Kelompok ini unik, atau
mungkin satu-satunya. Berdiri pada 14
Agustus 1982. Bermula dari peristiwa keluarga yakni acara khitanan putra keempat pelukis Bathara Loebis di Pengok Gondokusuman. Menurut Ny Bathara Loebis, niat membentuk IKAISYO muncul
secara spontan. Awalnya hanya omong-omong biasa bikin acara arisan antar
keluarga seniman, lalu terbentuklah IKAISYO. Anggotanya di antaranya Ny Bagong Kussudiardja, Ny Bathara Loebis, Ny Edhi
Sunarso, Ny Widayat, Dyan Anggraini, dan keluarga seniman lain. Dari gaya keseniannya
terutama seni lukis anggota
IKAISYO berasal dari pelbagai
mahzab seni seperti naturalis, ekspresionis, deformatif total, hingga abstrak ekspresionis.
IKAISYO selain sebagai wadah kumpul mempererat persaudaraan juga untuk mendorong
para suami dalam berkarya. Kegiatan
rutin tiap bulannya adalah arisan. Selama
18 tahun berkiprah, IKAISYO juga
memberi manfaat lingkungan
sekitar terutama dalam kegiatan sosial sebagai upaya
peningkatan ras solidaritas antar seniman. IKAISYO berkali-kali
menyelenggarakan pameran seni rupa, lomba
lukis anak-anak, serta terlibat dalam gelaran Pasar Seni Festival Kesenian
Yogyakarta tahunan.
Indonesian Visual Art Archive (IVAA)
Patehan Tengah No.37 | 375247 |
ivaa-online.org |ivaa@ivaa-online.org
Sebuah lembaga nirlaba di
Yogyakarta yang didirikan tahun 1995, dan dikenal dengan nama Yayasan Seni
Cemeti sampai April 2007. Melalui dokumentasi, riset, perpustakaan, serta
penyelenggaraan program edukasi dan eksplorasi seni visual, IVAA berfungsi
sebagai think-tank atau laboratorium
kreatif yang menggagas berbagai pemikiran serta kegiatan-kegiatan pendukung
perkembangan seni visual dan budaya kontemporer, baik secara praktek mau pun
wacana.
Koleksi
dokumentasi IVAA meliputi rekaman proses berkarya seniman dan peristiwa seni
visual dalam format foto, audio, dan video, serta hibah berupa buku-buku
referensi seni visual dan budaya, katalog pameran dalam dan luar negeri,
portfolio perupa, sampai salinan karya berbasis audio maupun video.
Saat
ini database IVAA menyimpan ribuan data dan segala arsip yang berhubungan
dengan seni visual di Indonesia dan juga internasional yang telah terkumpul
selama lebih dari 10 tahun, dan tersimpan dalam perpustakaan IVAA. Perpustakaan
independen ini ditujukan sebagai infrastruktur penyedia informasi, referensi
dan pembelajaran bagi perupa, peneliti, mahasiswa, kurator, kritisi dan
berbagai pihak lainnya dalam ranah seni rupa.
Sejak
pertengahan 2008, IVAA melakukan proses digitalisasi dan kemitraan arsip dengan
berbagai lembaga seni rupa di Indonesia untuk preservasi arsip, dan
mempublikasikan koleksi tersebut ke jaringan online sebagai Pusat Informasi
Digital untuk Seni Visual di Indonesia. Koleksi atau Arsip Online IVAA atau
IVAA Online Resource Center of Indonesian Contemporary Art itu diluncurkan
secara resmi pada 19 Agustus 2009 di Galeri Nasional Indonesia Hall C, Jakarta.
Sebagai
pengembangan dari kerja dokumentasi dan pengarsipan ini, IVAA juga melakukan pelbagai
kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan seni dan budaya visual, seperti
program kursus menulis (Aksara Creative Art Writers Club), artist’s talk,
workshop, pameran, proyek seni, seminar, dan lain sebagainya.
Saat
ini IVAA dipimpin Farah Wardani dengan Dewan Pengurus antara lain: Raihul
Fadjri, Agung Kurniawan, Yustina W. Nugraheni, Mella Jaarsma, Nindityo
Adipurnomo, Mahatmanto, dan Anggi Minarni.
KELOMPOK NUANSA
Kelompok ini terdiri dari 8 perupa yang merupakan sub kelompok
dari Sanggar Dewata Indonesia.
KELOMPOK SEPI
Jl I Dewa Nyoman Oka 4 A
Kotabaru | 0856286820
Berdiri atas prakarsa Agus
Nuryanto, Oda Teda Ena, dan Budyana pada 1999. Anggota kelompok
ini cukup banyak dan mengalami pasang surut, namun yang aktif hanya sekira 20 orang saja.
Tahun 1999 SEPI mengadakan dua kali
pameran instalasi di dua kota. Pameran outdoor
bertajuk “Of Violence and Men I” di
jalan Ahmad Yani dan “Of Violence and Men
II” di Sriwedari, Solo.
Penampilannya didukung pelukis pematung dan penyair seperti Fajaral K, Santo
Banana, Sriwintala Achmad, Ahmad Santosa, Erwin MB, Gatot.
SEPI juga pernah mengadakan performance art pada pameran Ouda Teda Ena dan Fajaral bertajuk “Question and
Context” di Java Cafe Yogyakarta dan pameran Santo Banana dan Erwin berjudul “Satu Atap”, di
Taman Budaya Surakarta. Tahun 2000
memperingati ulang tahun pertamanya SEPI menggelar pameran berlabel “Peloeit 2000”. Pameran ini menampilkan banyak seniman
baik dari lukis maupun patung.
LEMBAGA
BUDAYA KERAKYATAN TARING PADI
Jl Gampingan 1 |
taring99@hotmail.com
Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi didirikan beberapa
mahasiswa Seni Rupa ISI Yogyakarta pada 21 Desember 1998 di Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta. Penggagasnya antara lain Yustoni Volunteero, Devi
Setiawan, Surya Wirawan, dan lain-lain. Taring Padi bertujuan mengembangkan
seni dan budaya lokal dengan orientasi kerakyatan yang digali dari kebutuhan
rakyat. Sesuai denga namanya, Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi menganut ideologi
Demokratis Kerakyatan dalam memajukan kebudayaan. Menurut mereka keberpihakan
kepada rakyat ini adalah harga mati.
Keanggotaan lembaga ini
terbuka dan berasal dari pelbagai latar belakang, seperti seniman, budayawan,
kritikus seni, mahasiswa seni, musisi, dan sebagainya. Agar tetap netral dan
objektif, lembaga ini melarang para anggota Taring Padi untuk menjadi pengurus
Parpol maupun TNI-Polri. Kemunculan Taring Padi hendak mengubah paradigma yang
selama ini salah kaprah mengenai esensi seni. Lembaga ini sangat menentang seni
sebagai sebuah komoditas. Komunitas ini berpendapat, seni yang berorientasi
seperti itu hanya akan menghancurkan seni itu sendiri.
Di samping kegiatan seni,
Taring Padi juga sangat sensitif terhadap masalah-masalah sosial. Contohnya
Taring Padi pernah berjuang bersama rakyat menentang pembangunan pabrik Semen
Gresik di Gunung Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Selain itu, sejak 1 Desember 1998,
Taring Padi mengeluarkan album bulanan “Trompet Rakyat”. Buku bergambar ini
berisi karya para anggota Taring Padi, berupa puisi, cerpen, komik, esai, dan
iklan layanan masyarakat. Buku ini dibagikan gratis kepada mereka yang
merepresentasikan rakyat kecil, seperti buruh, kaum tani, tukang becak, dan
lain-lain. Dengan buku ini, rakyat hendak diberikan pendidikan politik lewat
media seni yang menarik.
PAGUYUBAN 13
Berdiri dan muncul di permukaan seni rupa atas
prakarsa dan gagasan lima pelukis yakni Sudaryono, Uki Sukisman, Tresna
Suryawan, Rebet MS, dan Dwidjo Widiyono.
SANGGAR BAMBU
Jl Rotowijayan KP II / 30A | 08122736422
Komunitas yang terdiri dari pelbagai bidang seni seperti lukis, teater, sastra, dan seni musik. Sanggar Bambu berdiri tahun 1960 oleh Yanto. Sejumlah seniman pernah berproses dan berkarya di Sanggar Bambu,
sebut saja Untung Basuki, Hendro Suseno, dan
banyak lagi. Dilihat
dalam kegiatannya, Sanggar Bambu
terbagi pada masing-masing bidang seni, misalnya seni musik dipimpin A. Untung Basuki, namun bukan berarti
terpecah-pecah pada setiap bidang seni. Semua kegiatan selalu dilakukan
bersama-sama apalagi ketika melakukan hajatan besar seperti pementasan teater ataupun pameran lukisan.
SANGGAR
BIDAR SRIWIJAYA/ RUMAH SENI MUARA
Jl Ontoseno No.6,
Wirobrajan | sanggarbidarsriwijaya@yahoo.com
Sanggar Bidar Sriwijaya merupakan salah komunitas etnis atau
kedaerahan (Sumatera Selatan) yang berada
di Yogyakarta. Komunitas yang didirikan pada 1999 ini bertujuan memberikan
ruang ekspresi bagi para anggotanya. Sanggar Bidar Sriwijaya sempat mengalami
kevakuman. Tapi kekosongan itu segera terisi dengan munculnya Rumah Seni Muara pada
2002, yaitu sebagai kelanjutan dari Sanggar Bidar Sriwijaya. Seperti saudara
tuanya, dalam perjalananya Rumah Seni Muara juga bernasib sama macet dan
berlahan-lahan menghilang. Kegiatan yang pernah dilakukan komunitas ini seperti
bimbingan seni bagi mahasiswa baru (anggota), pameran seni rupa dan pertunjukan
seni dua tahunan, yaitu proyek multi rupa antara Palembang dan Yogyakarta, dan
diskusi-diskusi seni.
SANGGAR DEWATA INDONESIA (SDI)
Jl Ali Maksuk No. 125
Pelem Sewu Sewon Bantul | sanggardewata@yahoo.com
SDI didirikan pada
15 Desember 1970 dari Balai Banjar “Saraswati” di kampung Baciro. Komunitas perupa ini diprakarsai sejumlah mahasiswa STSRI “ASRI” dan seniman muda asal Bali seperti Made Wianata, Nyoman Gunarsa, Pande Gde Supada, Nyoman
Arsana, dan Wayan Sika. SDI
dimaksudkan mengakomodasi seniman Bali namun kemudian menjadi lebih dinamis dan terbuka. SDI bukan saja berperan
sebagai wadah, tapi ibarat tubuh
SDI juga berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan antara mereka dengan
masyarakat seni rupa yang
lebih luas.
Diskusi