Pupuk Daru Purnomo, Pelukis yang Menyukai Wanita
Pupuk DP |
Pria kelahiran Yogyakarta 16 Juni 1964 ini, menjadikan kekuatan yang ada di balik sosok wanita sebagai pijakan dalam berkarya, melukis. Ia kagum pada spirit yang muncul pada wanita-wanita pekerja kelas bawah.
Sejak kecil, Pupuk sudah terbiasa membantu ibunya dalam bekerja keras untuk hidup. Dari kebiasaan itulah timbul perasaan haru sekaligus kagum terhadap sang ibu. Dan perasaan itu terus berlanjut manakala ia menyaksikan wanita-wanita lain yang bekerja keras untuk memperjuangkan hidup.
Memang, mencermati lukisan Pupuk, yang tampak adalah upaya-upaya untuk menggali dan mengungkapkan sisi dalam (inner spirit) perempuan pilihannya. Ia tak berpretensi memotret dan mengungkap realitas fisik, tapi sebaliknya berupaya memotret dan mengungkap realitas ide/persoalan.
Akibatnya, sekalipun kita dapat melacak figur-figurnya, tapi tidak tampil dalam presentasi realistik yang memudahkan untuk mengenal siapa mereka. Tampilan figur-figur itu memudahkan kita untuk mengenali mengapa mereka. Dengan kata lain, figur-figur itu memiliki impresi persoalan dan dunia ide Pupuk. Dan ini juga berlaku pada karya-karyanya yang tidak menampilkan kaum Hawa.
Mengenai proses berkeseniannya, menurut Pupuk, sebelum masuk bangku TK ia sudah mulai gemar menggambar di lantai-lantai rumahnya. Setelah tamat dari bangku SMA, pada tahun 1987 ia masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Program Sudi Seni Lukis. Lulus dari ISI, Pupuk pun produktif berkarya dan aktif berpameran.
Dalam berkarya, Pupuk mengatakan bahwa imajinasi adalah faktor utama. Selebihnya, obyek hanyalah jalan untuk memudahkannya dalam menvisualkan gagasan. Imajinasinya lahir karena adanya pengalaman-pengalaman hidup yang terekam dalam benaknya.
Tentang proses kreatifnya, ia mengibaratkan: mendongeng pada anak-anak. Karya-karyanya lahir dari catatan pengalaman yang mesti ia dongengkan dalam bentuk goresan, sapuan dan ekspresi yang ia tuangkan di atas kanvas. Dan Pupuk pun merasa, kepuasan batinnya bisa diperoleh setelah melakukan itu.
Saat berkarya, tentu Pupuk juga mengalami kendala. Ia perumpamakan, seperti berjalan yang selalu bertemu dengan kerikil. Untuk mengatasinya, ia harus injak kerikil itu. Dengan seringnya menginjak kerikil itu, lama-kelamaan kaki tidak merasa sakit lagi. Jadi hadapi kendala itu dengan tabah. Jika tadinya tidak bisa menggambar tangan dan kaki dengan bagus, maka ia terus latihan sehingga bisa membuahkan hasil yang maksimal.
Metode kerja Pupuk, diawali dengan menyiapkan kanvas-kanvas yang dilapisi cat transparan. Lapisan dasar ini mencakup petak-petak besar beragam warna, dalam pola yang longgar dan abstrak. Selanjutnya Ia akan merenungi kanvas kosong dengan dasar berwarnanya itu, sampai ia tiba-tiba memasuki suasana hati yang tepat. Bentuk dan pola pelapis dasar akan membantunya memperoleh inspirasi.
Eksekusi lukisan sendiri berlangsung tak pernah lebih dari empat jam. Karena batas waktu ini, lukisan Pupuk memiliki keliaran dan kesegaran tertentu. Lukisan itu merupakan penerjemahan langsung dari emosinya pada saat itu. Bila hasilnya tak cukup bagus, sang seniman akan menghancurkan lukisan itu dan mulai lagi dengan mengikuti metode yang sama.
Proses teknisnya mencakup penggunaan kuas-kuas yang lebih halus untuk membuat garis-garis lengkung yang anggun dan noktah-noktah kecil. Sang seniman menyelesaikan komposisinya dengan memberikan torehan-torehan ringan pada cat – suatu metode yang sering digunakan di lingkaran seniman Yogyakarta. Dengan teknik ini, sang pelukis menghilangkan bagian-bagian lapisan atas cat minyak. Lapisan dasar menjadi terlihat, sering dalam warna yang kontras.
Usai menyelesaikan karya seninya, Pupuk menambahkan tandatangannya, tanggal serta tempat, dan kadang juga teks pendek. Dengan tambahan ini, lukisannya menyerupai catatan harian; catatan harian tentang berbagai tempat yang ia kunjungi dan berbagai macam suasana hati yang timbul.
Dalam bukunya Refleksi Perjalanan Kekaryaan Pupuk D.P., kritikus Indonesia almarhum Mamannoor mencatat lima tanda pada karya-karya Pupuk. Tanda pertama, kecenderungan mengangkat Subject matter perempuan yang menunjukkan perhatiannya pada persoalan perempuan – bersumber pada kedekatan Pupuk dengan ibunya.
Tanda kedua, tendensi menggali masalah keluarga dan seks – yang diyakini Pupuk mengandung energi yang selalu bisa menjadi daya menyelesaikan persoalan. Tanda ketiga adalah kecenderungan membuat potret diri. Tanda keempat, kesukaan membuat catatan perjalanan yang hampir selalu diungkapkan dalam bentuk townscape dengan fokus bangunan tua bersejarah – menunjukkan minat Pupuk pada arsitektur dan sejarah. Dan tanda kelima, dorongan mengangkat imaji-imaji yang muncul dari berbagai pemahaman.
Itulah Pupuk Daru Purnomo. Dalam berkarya ia tidak semata-mata mengekspose tentang nilai estetiknya saja. Baginya, nilai estetik, keindahan, kecantikan dan sejenisnya harus terpancar dari dalam, itulah kecantikan yang tidak mungkin pudar. Dan dalam karyanya, ia mengutamakan ekspresi yang terkandung, bukan yang tergambar. (yunisa)
Sumber:
Katalog Pameran Pupuk Daru Purnomo, Peziarahan ke dalam Anima, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1995.
Katalog Pameran Pupuk daru Purnomo, Doxa, faces As Metaphor: Pupuk Daru Purnomo, Nus Museum, Singapura, Juli 2009.
Diskusi