I Wayan Sudarna Putra, Pelukis yang Suka Bermain Api
I Wayan Sudarna |
Karya-karya lukisan pria kelahiran Ubud-Bali, 15 April 1976 ini, memang banyak yang terbingkai dalam tema api. Ia menggunakan api, sebagai titik pijak karya-karyanya. Adapun api yang diangkat dalam lukisanya adalah tidak hanya yang berwujud, tetapi juga yang tidak berwujud.
Seperti api dalam kehidupan, termasuk dalam dunia gagasan, yang hadir dalam kenyataan multi-dimensi. la dapat berupa realitas yang 'berwujud', suatu panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar atau menyala. Juga sebagai ungkapan atau metafora yang menggambarkan adanya situasi 'panas'. Karena kenyataan semacam itulah, maka api baik sebagai kenyataan maupun kiasan menjadi multi-fungsi.
Pada karya-karyanya, dapat dilihat bahwa ia banyak menggunakan idiom tubuh dalam posisi beraksi (gerak) untuk menuturkan gagasan-gagasannya. Karya-karyanya, meski dengan teknik perwujudan dan perupaan yang tertib, tetap menyimpan tendensi politikal dalam pengertian berdampak secara kuat. Karyanya memiliki kekuatan untuk mengganggu sensitivitas dan sensibilitas pemirsanya
Dan melalui karyanya juga dapat dibaca, bahwa Sudarna memiliki 'kenakalan' dalam hal menggoda asosiasi. Ia seperti menyerukan, "tolong pada siapapun juga, janganlah bermain api, padamkanlah api yang menjilat dengan air, tolong pada para pemimpin berikan keteduhan,berikan perhatian pada orang kebanyakan". Seruannya itu kemudian diwujudkan menjadi sejumlah adegan dalam bidang gambar; figur-figur yang seringkali karikatural, mengisyaratkan adegan, dan hampir semuanya bertumpu pada gesture.
Dapat dikatakan, Sudarna berhasil menggarap tema api dengan menarik. Ia bisa keluar-masuk antara "api" yang nvata (ditampakkan secara visual) maupun "api" sebagai muatan, sebagai metafora (diisyaratkan sejumlah pose atau adegan, atau gesture berbagai figur). Adapun yang ditampakkan Sudarna, sesungguhnya tetap bermuara pada api yang menyala atau yang meredup, baik di dalam atau di luar diri, yang dihela oleh kesadaran jiwa.
Karena itu pula, "api" sebagai tema dalam lukisan Sudarna menyiratkan dua hal sekaligus, yaitu api yang berwatak memberi, menghangatkan, menyelamatkan, serta menyejukkan, dan api yang berwatak mengancam, menghardik, bahkan memusnahkan.
Berhubungan dengan api, dalam bahasa Bali ada istilah "api upin" yang berarti jangan meniup api, karena akibatnya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama api mati dan kemungkinan kedua api justru membesar. Dengan kata lain, jika ingin memadamkan api, harus menggunakan kecermatan dan kesadaran jiwa untuk mengukur: misalnya seberapa besar jika harus meniup, atau saat kapan dianggap tepat jika harus menyiram air. Kapan sesungguhnya kita membutuhkan api berskala kecil, dan kapan kita membutuhkan api dalam skala sedang atau besar, dan seterusnya.
Awal-awal menggarap tema api (sekitar pertengahan tahun 2000), Sudarna menampakkan objek api secara visual. Itu dapat dilihat pada Nyalakan Api (2000), Ada Asap, Ada Api (2000), Cermin Diri (2001), Api Upinl (2001), atau karya Main Hakim Sendiri (2000). Secara umum, dalam karya-karya itu, api dihadirkan seolah menjadi sumber persoalan dan kemudian mengakibatkan kemuraman atau kegelapan situasi. Jadi api yang berwatak mengancam dan membakar, bukan api yang memicu semangat dan menghangatkan.
Api dalam karya-karya itu selain berposisi sebagai sebab juga sebagai akibat. Sebagai sebab, karena ia berpotensi membakar. Sebagai akibat, karena ia hanyalah korban dari sesuatu yang terjadi (maka menyalakan api, membakar hati, pikiran, perasaan, siapa pun, bahkan dapat memusnahkan harapan).
Pada perkembangan berikutnya, Sudarna cenderung tidak lagi menampakkan api dalam bidang gambar. Ia mulai menyodorkan api dengan lebih mengendap dan 'dingin'. Api yang mengisyaratkan adanya harapan dan keteduhan, misalnya dalam karya Adiluhung, 200 x 420 cm (2001).
Karya berukuran relatif besar itu, terdiri dari enam figur pria dan perempuan. Mereka berdiri tegap dengan mengenakan busana kebesaran Jawa dan dilatar-belakangi bunga kamboja putih yang tengah mekar. Masing-masing figur menenteng tali yang ujungnya digantungi sandal jepit. Lewat karya ini Sudarna ingin mengatakan, bahwa siapapun mereka yang sedang berkuasa atau memiliki kekuasaan, jangan lupa memberikan perhatian pada rakyat biasa. Karena pada rakyat biasa, tersimpan api yang sangat besar, yang dapat menghangatkan, menyejukkan, atau sebaliknya dapat membakar musnah.
Karya Perang, 200 x 725 cm (2001), juga tak menampakkan wujud api, namun jelas memuat api yang berkobar. Karya ini memikat; menyodorkan adegan perang, figur manusia dan kuda bertarung, kuda terhempas, manusia terlempar, panah terbang dan menghujam, tampak hiruk pikuk. Memang, karya ini tampak steril, akibat dari kecermatan teknik yang menjadi kebiasaan Sudarna.Tetapi itulah, resiko ketika perang telah mengalami pecanggihan dalam dunia gagasan dan rekonstruksi (seperti yang sering kita saksikan pada film-film bertema perang, justru menjadi indah).
Kemudian dalam lukisannya Bali Spirit, 145 x 300 cm (2001), Sudarna mencoba menggambarkan bersemayamnya api spirit Bali. Dalam lukisan itu digambarkan sekelompok babi yang sedang bercengkrama dengan bunga warna merah, kuning, dan pink terselip di telinga masing-masing. Spirit Bali ini, pelan-pelan mulai tergusur. Babi sebagai simbol (kekayaan, kepemilikan, status, dan sebagainya) mungkin tinggal bersarang dalam memori masyarakat Bali dan akan segera menjadi masa lalu, seiring dangan industri pariwisata yang melaju pesat.
Begitulah cara Sudarna Putra bertutur dan beropini. Tema api terbukti merupakan ruang yang luas untuk dijelajahi, dan memberikan berbagai kemungkinan penuturan. Dengan dibumbui api, karya-karyanya mengundang pembacaan dan pemaknaan yang berlapis-lapis.
Mengenai perjalanan berkeseniannya, Sudarna telah lulus dari Seni Lukis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Beberapa kali ia mendapat penghargaan, antara lain: Seni Lukis Cat Minyak Terbaik dari FSR ISI Yogyakarta (1997), Finalis Philip Morris Indonesia Art Award V (1998), Karya Terbaik Lustrum IV (Dies Natalis XX) ISI Yogyakarta (1999), 10 Pemenang Philip Morris Indonesia Art Award VI (1999), Karya Terbaik Pratisara Affandi Adi Karya (1999).
Sudarna aktif berpameran baik tunggal maupun bersama. Pameran tunggal yang pernah dilakukan yaitu: Metafora Tentang Ruang dan Waktu, Gedung Seni Murni FSR ISI Yogyakarta (2004), Api, SIKA Contemporary Art Gallery, Ubud Bali (2001), dan Bermain Api, Edwin Gallery, Jakarta (2001). Sedang pameran bersama yang pernah diikuti antara lain: Pameran Kelompok Incarnation "Lima", Bentara Budaya Yogyakarta (2005), Young Arrow, Jogja Gallery, Yogyakarta (2006), "Love Letter", Tony Raka Gallery Mas Ubud Bali (2007), Res Republicum, Gallery Canna Jakarta (2008), Erawan VS Pelukis Sejati, Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta (2009).
I Wayan Sudarna Putra bersama pelukis-pelukis dari Bali lainnya seperti Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Made Toris, Mangku Mahendra, Agung Mangu Putra, Nyoman Masriadi, Wayan 'Suklu' Sujana, Made Sutakesuma, Nyoman Sujana, dan Ketut Susena, merupakan generasi baru Bali, yang tidak lagi memanggul beban tentang identitas tradisi Bali. Mereka telah melesat, merespon dengan kritis dan personal, tentang apapun yang menggodanya. Ini mengindikasikan bahwa generasi pasca-Bali telah tumbuh dengan subur dan kuat. (yunisa)
Sumber:
Suwarno Wisetrotomo, Awas "Api" , Membaca karya-karya I Wayan Sudarna Putra, dalam http://www.sikagallery.info
http://www.garisart.com
Diskusi