Arahmaiani, Pelukis yang Pernah Terlunta-lunta
Dihalalkan darahnya, dipecat dari kampus, disekap tentara, diusir dari
sebuah negara, dan dipenjara—adalah sederet pengalaman Arahmaiani. Perupa kelahiran
Bandung 1961 ini membuktikan perbedaan gender bukan menjadi halangan untuk
berkarya.
Nama Arahmaiani berasal sebuah kata dari khazanah Islam yang harfiahnya bermakna “berkah
ganda”. Orang biasa memanggilnya
dengan Lani saja. Dalam kehidupan sehari-harinya, ia adalah sosok perempuan
yang sederhana. Walaupun demikian ia dikenal sebagai perupa tangguh dan
penulis kritis. Ia termasuk
pelopor yang memperkenalkan
seni rupa pertunjukan sebagai bagian dari seni rupa kontemporer Indonesia. Arahmaiani juga sering ditengarai
sebagai aktivis sosial.
Dasar motivasi berkesenian Arahmaiani bukan menciptakan keindahan, melainkan menemukan jati diri. Baginya estetika hanya kendaraan yang membawanya pada
sesuatu. Orientasinya bukan pada perwujudan fisik,
tapi pada spiritnya yang datang dan pergi lewat intuisi sehingga
proses dan pengalaman batin menjadi utama. Hal-hal seperti penataan bentuk, komposisi, garis, dan warna tidak ditujukan pada pasar atau tren, tapi semata-mata melayani keyakinan dan
falsafah hidup.
Arahmaiani meniti pendidikan
seni formal di FSRD Institut Teknologi Bandung kemudian melanjutkan di Paddington Art School, Sydney, Australia dan
Academy for Fine Art, Enschede, Netherlands. Dalam berkesenian, ia selalu
menggeluti permasalahan hubungan Barat dan Timur (Muslim dan Non-muslim) dan
isu-isu kesetaraan gender. Perempuan, Muslim(ah), dan provokator adalah label yang kadung melekat pada diri Arahmaiani.
Karya Arahmaiani
memikat perhatian publik dengan karya-karya seni rupa yang melakukan
glorifikasi terhadap kekuatan esensial perempuan. Kebanyakan bermaksud
menyerang pandangan dikotomis dan hierarkis oposisi biner tentang tubuh. Dalam
karya performance bertajuk Dayang Sumbi: Menolak Status Quo
(1999). Tokoh perempuan legenda Sunda itu menjadi ikon
dan majas subordinasitas perempuan.
Aktivitas keseniannya adalah sederetan risiko yang
menyeretnya berhadapan dengan birokrat, tentara, polisi, petugas imigrasi, dan
kelompok-kelompok masyarakat penjaga moral di suatu negara. Ia telah merasakan pelbagai pengalaman menarik. Pada 1983 ia
dikeluarkan dari ITB setelah sebelumnya disekap selama sebulan oleh “Intel
Melayu”, karena mengejek peralatan militer, tank, dan senjata, dengan kapur
tulis di aspal jalanan Kota Bandung.
Pada 1994 sepotong lukisan Lani bertajuk Lingga
Yoni membuat naik pitam sekelompok Islam garis keras hingga
menghalalkan darahnya. Ia dituduh menghina Islam dengan lukisan penis dan
vagina yang diimbuhi latar deretan huruf Arab. Pada 2002 beberapa bulan setelah peristiwa 11 September, ia
diusir paksa keluar dari Negeri Paman Sam yang sangat cemas dengan apa yang
disebut teror Islam.
Sederet pengalaman yang menjadi risiko itu tidak melemahkan
energi kreatif Arahmaiani. Ia justru mematangkan dirinya sebagai perupa yang
memiliki semacam “Aura darma bahadura” (Aura
of heroic commitment) pada praktik seni rupa yang sepi pamrih dan berpihak
kepada khalayak luas.
Menurut
Dr. David Teh, Arahmaiani menawarkan praktek lintas-media yang menggugat
kenyataan politik masyarakat seni dan pemerhati seni. Karya Arahmaiani digambarkan sebagai sesuatu yang kaya akan puisi dan
peluang, dalam perbenturan sugesti bahasa dan penanda budaya. Tak heran bila respons terhadap karyanya beragam.
Heidi
Arbuckle menyorot dimensi gender dan agama dalam karya Arahmaiani. ia menggarisbawahi tantangan dalam menghadapi stigmatisasi Islam
setelah peristiwa 11 September. Sementara Lola Lenzi mengatakan seni Arahmaiani
dengan jitu mengaburkan batasan-batasan antara kami dan mereka.
Karyanya memberdayakan penonton agar mampu memilih.
Wang
Zineng berpendapat lain. Dalam menyimak karya-karya Arahmaiani, ia melihat
bahwa sang seniman beranjak dari dan kembali pada dirinya. Ini menyimpulkan
bahwa “Melalui subyektivitas individulah dunia Arahmaiani dapat
dipahami.”
Dari pelbagai teori yang dilontarkan tentang Arahmaiani beserta
gugusan akbar karyanya belum tentu ia sependapat, tapi ia
tetap terbuka dari segala interpretasi. Ia mengundang
penontonnya untuk terjun lebih dalam, melampaui selubung permukaan yang
gamblang dan memikirkannya sendiri. (Yunisa)
Sumber: Slow Down Brow…(
Katalog Pameran Arahmaiani), 2008
Diskusi