Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Forum Lingkar Pena
Helvy itu lokomotif. Tapi ini tidak membicarakan soal mesin yang biasa menarik gerbong-gerbong kereta. Di sini akan mengulas tentang seorang pengarang bernama Helvy Tiana Rosa, yang telah memperjuangkan kemajuan dunia kepenulisan di nusantara, hingga Koran Tempo menyebutnya “Lokomotif Penulis Muda Indonesia”.
Add caption |
Tak sampai di situ, bersama teman-temannya di FLP, sastrawan yang juga dosen ini mendirikan dan mengelola “Rumah baCA dan HAsilkan karYA” (Rumah Cahaya), yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Adapun Rumah Cahaya ini memberikan kesempatan bagi kalangan umum, khususnya kaum duafa untuk membaca lebih banyak buku atau majalah, sekaligus belajar menulis.
Tentang awal ketertarikannya pada dunia kepenulisan, lulusan magister dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia ini, sudah gemar menulis sejak kecil. Saat duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar, tulisannya sudah dimuat. Dan Inspirasinya, saat itu selalu muncul karena ia juga banyak membaca karya sastra. Adapun buku yang paling menginspirasi Helvy menulis adalah Toto Chan.
Soal bakat dalam menulis, muslimah berprestasi yang banyak menerima penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri ini, tidak percaya bakat. Ia menganggap bahwa peran bakat hanya 10 persen dan yang 90 persennya adalah tekad. Meski orang tuanya memiliki darah seni – ayahnya penulis lagu dan ibunya penari – tapi ia merasa kemampuannya dalam menulis karya-karya sastra adalah dari tekad dan latihan.
Dalam menulis, baik cerpen, novel, dan karya sastra lainnya, Helvy hampir tidak pernah membuat kerangka tulisan. Bagi seorang motivator penulis yang kerap diundang berbicara dalam berbagai forum sastra dan budaya, baik di dalam maupun luar negeri ini, membuat kerangka tulisan itu sangat capek. Tapi, kalau untuk penulis pemula, ia menganjurkan supaya membuat kerangka tulisan terlebih dahulu. Dan sebaiknya baru melepas kerangka itu ketika sudah mahir menulis.
Saat mendapat judul atau ide bagus, biasanya Helvy langsung menuangkannya dalam tulisan meskipun belum tahu endingnya. Seperti saat menulis cerpennya Jaring-Jaring Merah (cerpen terbaik di majalah Sastra Horizon selama 10 tahun), pertama-tama ia hanya ingat ada operasi Jaring Merah di Aceh. Ia membayangkan ada seorang wanita terjebak dalam jaring yang digerakkan oleh tangan raksasa. Dari situlah ia langsung menulis dengan lancar.
Tema yang menggerakkan Helvy untuk menulis adalah kejadian nyata. Pemuka genre fiksi Islami di Indonesia ini menangkap kejadian nyata sebagai keindahan di dalam batin. Dan cerita pun mengalir bagai curahan keharuan yang mengajak pembaca masuk ke dalam ruang imajinasi yang tak terbatas.
Adapun dua tema yang kerap mewarnai sebagian besar tulisan Helvy, yakni tema kecintaan pada Illahi dan perjuangan kaum tertindas. Bagi Helvy menulis itu adalah refleksi dari misi ammar ma’ruf nabi mungkar. Dalam hal ini ia berusaha mengajak pembaca merenungi kembali hakikat diri sebagai hamba Illahi. Selain itu ia juga ingin menginformasikan sekaligus menggugah kepedulian pembacanya tentang pelanggaran hak‑hak asasi manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
Mengenai waktu yang dibutuhkan untuk menulis sebuah karya, penulis yang masuk dalam jajaran 10 Perempuan Penulis Paling Terkenal menurut survey Metro TV 2009 dan satu dari 15 Tokoh Muslim Indonesia yang terpilih sebagai 500 Muslim Paling Berpengaruh di dunia, hasil penelitian The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordan 2009 ini, mengaku, paling cepat untuk satu cerpen ia bisa menyelesaikannya selama setengah jam. Paling lama ia bisa menghabiskan satu tahun. Tapi kalau mau cerpen yang baik, ia bisa menghabiskan waktu setengah hari.
Pengalaman menarik selama menjadi penulis, bagi Helvy adalah ketika menulis cerpennya Jaring -jaring Merah. Gara-gara cerpennya yang berisi mengenai kasus bom di Aceh itu, ia mendapat ancaman dibunuh. Sementara pengalaman yang memprihatinkan adalah ketika karya-karyanya diplagiat oleh profesor dari universitas ternama di Malaysia. Dan Helvy pun hanya bisa pasrah karena negara ini kurang perhatiannya terhadap hal semacam itu.
Meskipun cerpen-cerpen Helvy sudah diterjemahkan sekira 10 bahasa, penulis yang sering mendasarkan karyanya pada penelitian ini, masih punya cita-cita membuat sebuah buku, novel, atau kumpulan cerpen yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa di dunia. Dan untuk itu, ia berharap agar pemerintah mempermudah penerjemahan karya sastra hingga buku Indonesia dapat dijual ke luar negeri.
Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) ini juga berharap agar pemerintah lebih memperhatikan dan melindungi karya anak bangsa. Pun sebaiknya pajak terhadap penulis juga dihapuskan karena lewat karyanya, penulis sebenarnya sudah memberikan sesuatu untuk bangsa. Dan nasib para pengarang yang sudah tua yang banyak menyumbang untuk tanah air ini, sebaiknya juga diperhatikan.
Masih untuk pemerintah, kreativitas juga perlu lebih dihargai. Tentunya dengan menanggapi buku terbitan apa saja dengan cerdas. Memperbanyak penghargaan terhadap karya sastra dan sastrawan, baik yang tua maupun muda. Pemerintah juga perlu menyosialisasikan buku sastra ke sekolah. Tidak hanya sastra lama, tapi juga baru. (yunisa)
Diskusi